Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid.
Free Ebook; Free 3d Models. Santri mahir dalam murottal Al-Quran sesuai dengan ulumut tajwidnya dengan baik dan benar. Mengudarakan radio dan televisi.
Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya.
Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang. Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid.
Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.” Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.
Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meniggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu. “Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad.
Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya.” Kisah ini saya dengar dari Kiai Madura, D. Zawawi Imran, membuat bulu kuduk saya merinding.
Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Alloh. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasululloh saw? Di kutip dari buku: “Rindu Rosul – Meraih cinta ilahi melalui syafaat Nabi Saw” hal 31-33 Penulis: Jalaluddin Rakhmat, penerbit: Rosda Bandung,. September 2001.
By bumiprabuku Posted in Tagged. Abu dengan nama Deni Triesnahadi atau biasa di panggil Abu Syauqi. Lahir di Bandung tanggal 11 Februari 1968 dari Pasangan Enden Dewi dan Eddy Affandy. Menikah dengan Siti Sumandari dan dikaruniai 6 orang anak, yaitu Syauqi Mujahid Robbani, Hamzah Romzul Qurani, Syahid Hasan al-Banna, Muhammad Sholahuddin al-Ayyubi, Mutiah Quraniah, Abdulmajid al Zindani. Selain Berbisnis dengan mendirikanbeberapa perusahaan baik di bidang agrobisnis maupun keuangan, abu juga aktif di kegiatan sosial, dengan mendirikan Rumah Zakat Indonesia bersama kawan kawan. Beberapa sekolah gratis sudah di bangun, rumah bersalin gratis, serta layanan serba gratis lainnya. Tidak lupa 13ribuan anak yatim dan dhuafa di seluruh indonesia sudah tersantuni sekolah+kebutuhannya loh.siapa bilang, gratis cuma janji?
Buktinya, gak jadi walikota juga abu bisa bikin yg gratis gratis. Jaringan organisasi yang abu dirikan sendiri, sudah menyebar di 28 titik kantor nasional dan mendunia.
Untuk lebih mengenal abu, sobat TRENDI bisa add di [email protected] Kita Dukung yuuk, Perubahan Kota Bandung yang Lebih Baik, dengan visi “Terwujudnya Kota Kembang yang Kreatif, Nyaman dan Sejahtera”. Ini Kegiatan-kegiatan abu: – President Director Rumah Zakat Indonesia (1998 – 2005) – Ketua Dewan Pembina Rumah Zakat Indonesia (2005 – sekarang) – Komisaris PT.
Citra Niaga Abadi Holding Company – Komisaris PT. Niaga Ummul Quro – Komisaris PT. Agro Makmur Abadi – Komisaris PT.
Sentra Ternak Indonesia – Komisaris PT. Insan Mulia Investama – Pembina Rumah Entertainment Indonesia (2004 – 2007) – Pembina LKMS Mozaik – Ketua IKADI Jawa Barat (2007 – Sekarang) Sumber: By bumiprabuku Posted in Tagged. Dr.H.Aam Amiruddin, M.Si Aam Amiruddin lahir di Bandung, 14 Agustus 1965. Saat ini tinggal di Bandung. E-mail: [email protected]. Menikah dengan Hj. Sasa Esa Agustiana, SH.
Diamanahi 1 putra (Iqbal Rasyid Ridha) dan 2 putri (Tsania Shofia Afifa dan Tsalisa Syifa Afia). Pendidikan tingkat dasar di SD Pabaki I Bandung. Tingkat SLTP dan SLTA di Pesantren Persatuan Islam No. Sedangkan pendidikan tinggi yang pernah ditempuh: 1. Diploma di Ma’had Ta’lim Lughah Al-‘Arabiyyah (LIPIA – Jakarta) 2. S1 – Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Islam Bandung 3.
S2 – Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung – Bidang Ilmu Komunikasi 4. S3 – Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung – Bidang Ilmu Komunikasi. Lulus dg Yudisium CumLaude.
Kegiatan kesehariannya cukup beragam; sebagai narasumber di sejumlah media cetak dan elektronik, pendidik, konsultan, jurnalis, penulis buku dan sebagai professional. Diantara kegiatannya: 1. Narasumber acara dakwah di sejumlah TV swasta seperti TV-One, RCTI, TRANS- TV, dll.
Narasumber acara Percikan Iman di Radio OZ 103,1 FM – Bandung setiap pagi jam 05.15-06.00 3. Komisaris Utama PT. Khazanah Intelektual 4. Direktur Utama PT.
![]()
Percikan Iman Tour & Travel 5. Ketua Pembina Yayasan Dakwah Percikan Iman 6. Konsultan Corporate Religious di sejumlah perusahaan swasta dan pemerintah 7. Dosen Luar Biasa pada Program Pascasarjana Universitas Islam Bandung 8. Telah menulis lebih dari selusin buku, diantaranya:.
Tafsir Kontemporer Juz ‘Amma (3 jilid) (Terbit thn. 2004, 956 hal.).
Bedah Masalah Kontemporer (2 jilid) (Terbit thn. 2005, 542 hal.).
Dzikir Orang-Orang Sukses (Terbit thn. 2008, 250 hal.). Kunci Sukses Meraih Cinta Illahi (Terbit tahun 2008, 240). Sudah Benarkah Shalatku? (Terbit tahun 2008, setebal 274).
Melangkah ke Surga dengan Shalat Sunat (Terbit tahun 2009, 160 hal). Ketika Shofie Bertanya (Buku For Teenager) (Terbit 2005, 172 hal.). Menelanjangi Strategi Jin (Terbit 2005, 200 hal.). Doa Orang2 Sukses (Terbit 2004, 128 hal.). Seks Tak Sekadar Birahi-ditulis bersama dr. Hanny Ronosulistyo- (Terbit 2005, 216 hal.).
Kehamilan yang Didamba-ditulis bersama dr. Hanny Ronosulistyo- (Terbit 2007, 132 hal.). Cinta dan Seks Rumah Tangga Muslim – ditulis bersama dr. Untung Sentosa-(Terbit 2006, 226 hal.). Anak anda bertanya seks?
-ditulis bersama Dra. Alfa Handayani-(Terbit 2008, 160 hal.). Membingkai Surga Dalam Rumah Tangga-ditulis bersama Priyatna Muhlis-(Terbit 2006, 194 hal.) Seluruh buku tersebut diterbitkan oleh Khazanah Intelektual Jl.
Biduri No.9 Buah Batu – Bandung 40265. 0 SMS Marketing: 08 E-mail: [email protected]. Kajian islam oleh Beliau di MAsjid Daarul Ihsan GKP Telkom dapat By bumiprabuku Posted in Tagged. Sumber: Dalam jagat dakwah di tanah air, pria ini dikenal tegas dan lantang, terutama saat menyampaikan kebenaran Islam.
Ia juga dikenal kuat dalam menegakkan prinsip-prinsip Islam (syariat Islam) dalam kehidupan sehari-hari. Dialah KH Athian Ali M. Dai, sosok yang tak pernah gentar membela Islam sampai kapanpun. Didikan agama yang kuat dari sang ayah, membekas kuat dalam jiwanya.
Sejak kecil ayahnya membekali Athian pemahaman Islam secara utuh. Kendati tidak mengenyam pendidikan pesantren, namun pria kelahiran Bandung 5 Juli 1954 ini merasa rumahnya laksana pesantren karena di sana ia diberikan pelajaran Islam, seperti akidah, hafalan ayat al-Quran, tahsin, pemahaman fikih dan lainnya. “Ayah adalah sosok yang tegas, keras dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Ia selalu mendidik anak-anakya dengan nilai-nilai Islam, tiada henti,” kenangnya mengingat peran ayah yang telah membesarkannya di lingkungan keluarga yang agamis. Didikan sang ayah ternyata membuahkan hasil. Dalam diri Athian tersimpan niat kuat berdakwah mengikuti jejak sang ayah.
Untuk itu, lelaki yang memiliki lima saudara ini memilih belajar di PGAP dan PGAN—yang disebut terakhir kini berubah nama menjadi MAN 1, Bandung. Untuk memperdalam ilmu keislaman, Athian melanjutkan pendidikan ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, negeri kelahiran ibunya, Azizah dari tahun 1974-1981. Di Al Azhar, ia mengambil fakultas syariah (hukum Islam). Selain itu, ia juga memperdalam ilmu sosiologi Islam di Institut Studi Islam (Mahad Dirosah Islamiyah) di Kairo.
Athian mengakui sangat mengagumi tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin (IM), seperti Syekh Mutawwali Syahrawi, DR Rauf Sallaby, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb dan Muhammad Al Barhi. Tidak heran jika mereka sangat mempengaruhi pemikiran dan pola dakwahnya. Selain mempelajari gaya dakwahnya, Athian pun menyenangi buku-buku mereka. “Saya suka dan sependapat dengan keistiqomahan prinsip yang mereka pegang di dalam memperjuangkan Islam tanpa terpengaruh kondisi yang terjadi.” Usai studi di Mesir, KH EZ Muttaqien (KH. EZM) yang saat itu menjabat Rektor (Universitas Islam Bandung) UNISBA menarik Athian sebagai sekretarisnya. Di sinilah bakat Athian mulai berkembang.
Selain sering mewakili KH EZM, Athian kerap menyiapkan materi kuliah dan ceramah sang rektor. KH EZM pula yang menarik Athian aktif di MUI Jawa Barat. Namun, itu hanya berjalan selama lima tahun karena KH EZM keburu meninggal. Bagi Athian, KH EZM adalah sosok istimewa. Ia sudah mengganggapnya sebagai ayah keduanya. KH EZM pula yang membimbingnya, terutama di saat berdakwah. “KH EZM pernah menegur saya ketika terlalu bersemangat menyampaikan materi dakwah.
Dia mengingatkan bahwa kondisi masyarakat Indonesia berbeda jauh dengan masyarakat Mesir. Adakalanya dakwah itu gagal karena kita sendiri tidak mengenal obyek dakwahnya.” Memulai profesi dakwahnya justeru terbilang unik. Suatu hari, ia bersama tiga orang rekannya mengadakaan perjalanan selama dua hari tiga malam, melewati hampir delapan puluh kilometer kawasan hutan. Dimulai dari daerah Ciwidey, Bandung Selatan sampai ke wilayah Cianjur Selatan. Setelah meminta izin ketua DKM dan RW Desa Cimaja, mereka pun beristirahat. Bertepatan dengan itu, di desa tersebut akan diadakan kegiatan Maulid Nabi saw.
Salah seorang temannya mengatakan bahwa Athian pandai mengaji. Kemudian, ketua DKM memintanya untuk ngaji di acara tersebut.
Mulanya, Athian mengira hanya diminta membaca al-Quran saja. Subhanallah, ternyata di luar dugaan, ia diminta berceramah sebelum mubaligh yang diundang panitia tampil ke mimbar. “Setelah mendengar hal itu, saya lalu pergi shalat ke mushalla untuk berdoa, jika benar hal ini amanat dari-Mu, maka berikan aku kepahaman ilmu dan jangan sampai digelincirkan dalam kesalahan ketika berceramah,” kenangnya kepada SABILI.
Setelah kejadian itu, ia mulai yakin dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sinilah motivasi dakwahnya semakin terpacu. Niatnya tidak sekadar bertabligh saja, melainkan ingin lebih dari itu, yaitu berjuang bagi kepentingan Islam. Hal itu gayung bersambut ketika dirinya aktif bersama KH EZ Muttaqien di MUI. Ia mulai berhadapan langsung dengan permasalahan yang dihadapi umat.
Bersama sang kiai, Athian selalu bertentangan dengan Pemerintah. Salah satunya saat membela siswi SMA 3 Bandung yang dilarang berjilbab.
Keduanya terus maju agar yang bersangkutan tetap dapat sekolah dan memakai busana Muslimah. Pertentangan antara MUI Jabar dan Pemerintah semakin runcing, terlebih saat muncul pelajaran PMP yang menghadirkan pluralisme agama yang tidak jelas. Hal ini dianggap berbahaya karena dapat menggerogoti akidah umat sehingga beliau dan KH. EZM terus berjuang, tetapi takdir berkata lain. Setelah KH EZM meninggal dunia, perjuangan pun dilakukan sendiri. Ustad Athian tidak patah semangat.
Untuk memperkuat proses perjuangannya, ia sering bertemu dan berkonsultasi dengan (Alm) KH. M Rusyad Nurdin, (Alm) KH Latief Mukhtar, (Alm) KH Mukti Nurdin, DR Yusuf Amir Faisal, KH M Daud Gunawan dan Rizal Fadillah. Saat itu pun muncul pula problema umat yaitu adanya SDSB/KSOB, ditambah lagi pernyataan Menteri Agama Munawir Sadzali yang mengatakan perlunya reaktualisasi ajaran Islam dengan menggunakan metode fikih ala Indonesia.
Beliau tidak setuju dan melakukan penentangan. Kemudian, ia menulis sebanyak dua puluh lima halaman sebagai bentuk protes terhadap hal itu. Guna mempertegas pembelaan terhadap umat, lelaki yang beristerikan Hj Nita Puspariyah ini selalu meminta nasihat dari KH M Rusyad Nurdin. Beriringan dengan hal itu, beberapa pemuda di bawah pimpinan Ustadz Hedi Muhammad telah merancang program untuk membentuk forum yang bertugas melakukan pembelaan terhadap umat. Kloplah saat itu.
KH Athian menyetujuinya dan forum itu terbentuk dengan nama Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) yang dideklarasikan tahun 2001 di Masjid Al Furqon, UPI (IKIP, dulu), Bandung. Menurutnya, FUUI hadir untuk mengoreksi, meluruskan dan terkadang mengecam segala bentuk yang bisa merongrong akidah umat. Forum itu mulai dipandang saat mengeluarkan ‘fatwa mati’ bagi Pendeta Suradi dan Pendeta Poernama Winangun yang jelas-jelas menghina dan mengotori ajaran Islam. Tidak berhenti sampai di situ saja, FUUI pun pernah mengeluarkaan ‘fatwa’ untuk NII KW-IX yang dianggap sebagai gerakan sesat dan menyesatkan. Saat muncul Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulil Abshar Abdalla, FUUI yang dimotori Athian juga tak tinggal diam. Mereka mengecam keras pemikiran JIL yang dianggapnya nyeleneh tersebut.
FUUI pernah pula mengeluarkan fatwa tentang zakat fitrah yang tidak jelas pendistribusiannya karena muncul “amilin-amilin baru”. Kesemua itu semakin mempertegas eksistensi Athian dalam perjuangan Islam. Ketika pemurtadan menyeruak ke mana-mana, nurani Athian pun terusik.
Ia tak ingin akidah umat Islam hancur karena persoalan ini. Di bawah bendera FUUI, ia melakukan berbagai upaya guna menangkal kristenisasi, seperti menyelenggarakan diklat antipemurtadan, aksi-aksi sosial dan lainnya. Diklat antipemurtadan misalnya, masyarakat begitu antusias menyambut diklat yang sudah digelar dua kali tersebut. Tercatat lebih dari 1500 orang mengikutinya. Kader-kader yang telah dibina secara langsung menjadi ujung tombak menangkal aksi pendangkalan akidah umat itu di daerahnya masing-masing. Sebagai realisasinya, FUUI membentuk Divisi Anti Pemurtadan. Divisi ini bertugas menangani kasus-kasus pemurtadan yang terjadi di wilayah Jawa Barat khususnya dan Indonesia, umumnya.
“Saya melihat pemurtadan merupakan tindakan kriminal yang dilakukan secara brutal. Saya tak habis pikir kenapa aparat tak pernah serius menangani kasus pemurtadan ini. Dengan melihat kondisi seperti ini, saya lebih intens menyelamatkan akidah umat. Bila perlu, saya pun akan mengislamkan orang-orang Nasrani,” tegasnya, berapi-api.
Selain berdakwah ke hadapan umat secara langsung, Athian juga aktif berdakwah melalui radio. Secara rutin, ia mengisi ceramah di Radio Continental dan Mustika FM Bandung. Di media cetak, ia sempat pula mengasuh rubrik tanya jawab di tabloid SALAM dan HIKMAH.
Jawaban-jawaban Athian di dua tabloid itu, kini sudah pula dibukukan. Satu obsesinya yang belum tercapai adalah tegaknya syariat Islam di bumi nusantara ini. Tentu saja obsesi ini bukanlah hal mudah, namun selama hayat masih dikandung badan Ustadz Athian tetap akan memperjuangkannya, seperti falsafah hidupnya, membaktikan diri di jalan Allah SWT.
Itulah sosok KH Athian Ali yang menjadi pembela umat dan menjadi idola di mata anak-anaknya. (Sabili) Deffy Ruspiyandy (Bandung) Berikut kumpulan ceramah beliau di Masjid Daarul Ihsan GKP Telkom Bandung dalam dua folder, dan By bumiprabuku Posted in Tagged. Sumber: Karir Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab.
Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan.1 Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang.
Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 – 1965 dan IAIN 1972 – 1977. Sebagai seorang yang berpikiran progresif, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.
Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang di¬datangkarn ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika.
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama setelah magrib. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur’an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun.
Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.2 Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar sampai kelas 2 SMP. Pada tahun 1956, ia di kirim ke kota Malang untuk “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah.
Karena ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia sudah mahir berbahasa arab. Melihat bakat bahasa arab yg dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislamannya, Quraish beserta adiknya Alwi Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui beasiswa dari Propinsi Sulawesi, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua I’dadiyah Al Azhar (setingkat SMP/Tsanawiyah di Indonesia) sampai menyelasaikan tsanawiyah Al Azhar. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A.
Pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur’an al-Karim (kemukjizatan al-Qur’an al-Karim dari Segi Hukum)”. Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980.
Di samping mendududki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978). Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar Cairo, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan analisa terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durar karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat dengan predikat penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (summa cum laude).
Pendidikan Tingginya yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, Al-Azhar, Cairo ini, oleh Howard M. Federspiel dianggap sebagai seorang yang unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Mengenai hal ini ia mengatakan sebagai berikut: “Ketika meneliti bio¬grafinya, saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren, dan menerima pendidikan ting¬ginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar, di mana ia mene¬rima gelar M.A dan Ph.D-nya. Ini menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Quran, dan lebih dari itu, tingkat pendidikan tingginya di Timur Tengah seperti itu menjadikan ia unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Dia juga mempunyai karier mengajar yang penting di IAIN Makassar dan Jakarta dan kini, bahkan, ia menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta. Ini merupakan karier yang sangat menonjol”.3 Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Makassar ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta.
Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibouti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan.
Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur’an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan.
Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur ‘an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta. Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur’an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur’an lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur’an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat. Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata.
Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur’an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur’an.
Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur’an.4 Quraish Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan. Kedudukannya sebagai Pembantu Rektor, Rektor, Menteri Agama, Ketua MUI, Staf Ahli Mendikbud, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan, menulis karya ilmiah, dan ceramah amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain bahw ia adalah seorang ulama yang memanfaatkan keahliannya untuk mendidik umat. Hal ini ia lakukan pula melalui sikap dan kepribadiannya yang penuh dengan sikap dan sifatnya yang patut diteladani. Ia memiliki sifat-sifat sebagai guru atau pendidik yang patut diteladani. Penampilannya yang sederhana, tawadlu, sayang kepada semua orang, jujur, amanah, dan tegas dalam prinsip adalah merupakan bagian dari sikap yang seharusnya dimiliki seorang guru.
Karya Yang tak kalah pentingya, Quraish Shihab sangat aktif sebagai penulis. Beberapa buku yang sudah Ia hasilkan antara lain:. Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984). Filsafat Hukum Islam (Jakarta:Departemen Agama, 1987);. Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta:Untagma, 1988). Membumikan Al Qur’an (Bandung:Mizan, 1992). Buku ini merupakan salah satu Best Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.
Fatwa-Fatwa (Bandung:Mizan). Buku ini adalah kumpulan pertanyaan yg dijawab oleh Muhammad Quraish Shihab dan terdiri dari 5 seri: Fatwa Seputar Al Qur’an dan Hadits; Seputar Tafsir Al Qur’an; Seputar Ibadah dan Muamalah; Seputar Wawasan Agama; Seputar Ibadah Mahdhah.
Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007). Lentera Al Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007). Mukjizat Al Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Republish, 2007). Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Quran (Republish, 2007). Wawasan Al Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Republish, 2007). Haji Bersama M. Quraish Shihab., tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati) By bumiprabuku Posted in Tagged,.
Cikal bakal metode ini dapat di rujuk ke abad kebangkitan Eropa (abad 15) ketika banyak sekolah dan universitas di Eropa mengharuskan pelajarannya belajar bahasa latin karena di anggap mempunyai “nilai pendidikan yang tinggi” guna mempelajari teks-teks klasik.metode ini merupakan penerminan yang tepat dari cara bahasa-bahasa yunani kuno dan latin diajarkan selama berabad-abad. Akan tetapi,penamaan metode klasik ini dengan “ Grammar Translation Method” baru dikenal pada abad 19,ketika metode ini digunakan untuk pengajaran bahasa arab baik di negara-negara Arab maupun di negara-negara islam lainnya termasuk indonesia sampai akhir abad19. Metode ini muncul akibat ketidakpuasan dengan hasil pengajaran bahasa dengan metode gramatika dikaitkan dengan tuntutan kebutuhan nyata dimasyarakat. Menjelang abad ke-19, hubungan antarnegara di Eropa mulai terbuka sehingga menyebabkan adanya kebutuhan untuk bisa saling berkomunikasi aktif diantara mereka. Untuk itu mereka membutuhkan cara baru belajar bahasa kedua, karena metode yang ada dirasa tidak praktis dan tidak efektif. Maka pendekatan-pendekatan baru mulai dicetuskan oleh para ahli di Jerman, Inggris, Perancis dan lain-lain, yang membuka jalan bagi lahirnya metode baru yang disebut metode langsung. Diantara para ahli itu adalah Francois Goulin (1880-1992) seorang guru bahasa latin dari perancis yang mengembangkan metode berdasarkan pengamatannya pada penggunaan bahasa ibu oleh anak-anak.
Metode Langsung ( Thariqoh Al-Mubasyaroh) merupakan metode yang memprioritaskan pada keterampilan berbicara. Metode Langsung (Mubasyaroh) merupakan metode yang memprioritaskan pada keterampilan berbicara. Metode ini muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap hasil pengajaran bahasa dari metode sebelumnya (gramatika tarjamah), yang dipandang memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang mati. Seruan-seruan yang menuntut adanya perubahan-perubahan mendasar dalam cara pembelajaran bahasa itu mendapatkan momentumnya pada awal abad ke-20 di Eropa dan Amerika, serta digunakan baik di Negara Arab maupun di negara-negara Islam Asia termasuk Indonesia pada waktu yang bersamaan. Ketidakpuasan terhadap metode langsung yang kurang memberikan perhatian kepada kemahiran membaca dan menulis, mendorong para guru dan ahli bahasa untuk mencari metode baru. Teori metode mubasyaroh kurang mengacu pada qowaid / kaidah-kaidah nahunya sehingga dalam hal ini lebih dicondongkan dalam berbicara saja. Opini yang berkembang diantara para guru adalah bahwa mengajarkan bahasa asing dengan target penguasaan semua keterampilan berbahasa adalah sesuatu yang mustahil.
Karena alasan itulah maka Profesor Coleman dan kawan-kawan dalam sebuah laporan yang ditulis pada tahun 1929 menyarankan menggunakan metode dengan satu tujuan pengajaran yang lebih realistis yaitu, keterampilan membaca. Metode ini diberi nama “ metode qiraah” ini digunakan untuk seluruh sekolah Eropa dan Amerika. Bukan berarti kegiatan belajar mengajar hanya terbatas pada latihan membaca. Latihan menulis dan membaca juga diberikan walau dalam porsi terbatas.
Keterampilan berbahasa yang dihasilkan oleh metode membaca yang terbatas pada kemampuan membaca teks-teks ternyata tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang pada tahun 40’an. Dalam situasi perang Dunia Ke II, Amerika Serikat memerlukan personalia yang yang lancer berbahasa asing untuk ditempatkan dibeberapa Negara, baik sebagai penerjemah dokumen-dokumen maupun pekerjaan lain yang memerlukan komunikasi langsung dengan penduduk setempat. Untuk itu, Departemen Pertahanan Negara Amerika Serikat membentuk satu badan yang menamai Army Specialized Training Program (ASIP) dengan melibatkan universitas di AS. Program yang dimulai tahun 1943 ini betujuan agar peserta dapat berketerampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing, dengan pendekatan dan metode yang baru sama sekali pengajaran bahasa asing model ASIP ini layak diterapkan secara umum diluar program ketentaraan. Model ASIP inilah yang merupakan cikal bakal dari metode Audiolingual, setelah dikembang dan diberi landasan metodologis oleh berbagai universitas di Amerika. Metode ini didasarkan atas beberapa asumsi, antara lain bahwa bahasa yang pertama-tama adalah ujaran.
Oleh karena itu, harus memperdengarkan bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk kata, kalimat kemudian mengucapkannya, sebelum pelajran membaca dan menulis. Asumsi lain dari metode ini adalah bahwa bahasa merupakan kebiasaan. Suatu perilaku akan menmjadi kebiasaan apabila diulang berkali-kali. Oleh karena itu pengajaranbahasa harus harus dilakukan dengan teknik pengulangan atau repotesi. Metode ini juga didasarkan atas asumsi bahwa bahasa-bahasa didunia ini berbeda satu sama lain.
Oleh karena itu, pemilihan bahan ajar harus berbasis hasil analisis kontrastif, antara lain bahasa ibu dan bahasa target yang sedang dipelajari. Ada dua pendekatan teori yang mendasari pengajaran bahasa sebagaiman kita ketahui, yaitu teori tata bahasa tradisional dan struktural. Keduanya memiliki pandangan yang yang saling berbeda dalam hal tata bahasa. Teori tradisional meyakini bahwa sturktur bahasa-bahasa didunia tidak sama. Menurut teori tradisional bahasa yang baik adalah menurut para ahli bahasa (dalam istilah linguistic disebut perspektif). Sedangkan menurut teori structural yang baik dan benar adalah yang digu akan oleh penutur asli ( dalam istilah lnguistik disebut deskriptif). Metode ini berpendirian bahwa jika pada tahap-tahap awal para pelajar tidak/belum mengerti makna dari kalimat-kalimat yang ditirunya tidak dianggap sebagai hal yang meresahkan.
Selanjutnya dengan menyimak apa yang dikatakan oleh guru member respon yang benar dan melakukan semua tugas tanpa salah, pelajar sudah dianggap belajar tujuan dengan benar. Jika dianalisa pendirian ini kurang dapat diterima, sebab meniru tanpa mengetahui makna adalah suatu aktivitas yang mubazir kecuali itu hapalan-hapalan pola kalimat dengan ucapanyang baik dan benar belum berarti bahwa para pelajar dengan sendirinya akan mampu berkomunikasi dengan wajar. Oleh sebab itu diperlukan bimbingan yang intensif dalm mencapai kemampuan komunikasi ini. Yang dimaksud gabungan disini tentu saja bukan menggabungkan semua metode yang ada sekaligus, melainkan lebih bersifat “tambal sulam”, artinya suatu metode tertentu dipandang dapat mengatasi kekurangan metode yang lain. Walaupun setiap metode memiliki kelebiahan dan kekurangan, namun tidak berarti semuanya dapat digabungkan sekaligus, sebab menggabungkan disini sesuai kebutuhan atas dasar pertinbangan tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, kemampuan pelajar, bahkan kondisi guru. Yang cocok dilakukan dalam hal ini adalah memanfaatkan kelebihan metode tertentu untuk mengatasi kekurangan metode tertentu. Belum tentu semua guru sanggup melakukan serangkaian kegiatan mengajar yang begitu banyak dan bervariasi.
Penggunaan metode ini nampaknya menuntut adanya guru yang terlalu banyak malah bisa menimbulkan kejenuhan belajar, apalagi jika materi dibawakan secara monoton. Waktu yang diperlukan juga relatif lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan metode lain, padahal umumnya alokasi waktu pelajaran bahasa arab disekolah-sekolah indonesia terbatas, kecuali disekolah-sekolah tertentu yang memberikan perhatian lebih kepada bidang studi bahasa arab.
Comments are closed.
|
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |